Proses mencipta puisi adalah suatu proses yang ada senang dan payahnya. Senangnya kita tidak perlukan medium penulisan yang panjnag yang mungkin juga memakan masa yang panjang (seperti medium novel), payahnya pula adalah kita harus pilih perkataan tepat dalam jumlah yang terhad untuk gambarkan perasaan kita. Untuk nadakan rasa di hati kita. Semua itu (perasaan dan cerita) dalam kawalan jumlah perkataan yang terhad.
Kalau kita hurai-hurai...ia akan jadi cerpen, kalau hurai lagi akan jadi novel! He he he.
Dan masalah lain ilah payah untuk kita hasilkan puisi yang tidak sama dengan perasaan dan pemilihan kata yang terdahulu sedia ada...
Ambil contoh untuk lahirkan puisi bertemakan `kasih seorang ibu'. Ia terlalu biasa, sudah beribu kali orang menulisnya (perasaan itu). Jadi kita harus jadikan puisi kita berlainan dan bersifat luar biasa. Mungkin dari segi pemilihan kata-kata (diksi) atau ekniknya...
Separuh dunia hilang...
Ibu,
ada sayu dalam hatiku
Pabila kau membuka daun pintumu, menatapku...
Berurat-urat senyummu, berkedut-kedut riangmu
(Tapi bias kasih mu utuh segar selamanya...hingga ke tulang)
"Rehat dulu nanti makan nasi"
Hidup tanpa ayah,
rasamu galakmu sunyi, sebahagian ceriamu terbunuh...
Ibu,
hari ini kubuka sendiri pintumu itu
di dalamnya kosong sunyi, sekosong sunyi hatiku...
Hidup tanpa ibu, rasaku sayu...
Ibu,
sudah patah pintumu,
usang rumahmu...
usang duniaku...
Menulis puisi juga merupakan suatu ketakutan. Takut `syok sendiri'. Namun yang lebih menakutkan adalah apabila rasa perasaan yang hendak disampaikan itu tidak sampai. Orang membacanya tanpa rasa apa-apa.
Sekadar pandai bermain ayat juga tidak semestinya hasilkan puisi yang berkesan...
Jadi kita ciptalah puisi itu untuk kita sebab kita adalah kita, kita bukan Latif Mohiden atau A Samad Said.
He he he.
No comments:
Post a Comment